Saturday, June 18, 2011

Melayani di bawah Pengamatan Tuhan


Setelah melewati studi di semester lalu yang begitu melelahkan dan penuh perjuangan, tibalah waktu yang memang dinanti-nantikan oleh hampir seluruh mahasiswa di seantero bumi ini yakni LIBURAN. Waktu liburan ini seperti waktu rehat bagi prajurit yang baru saja pulang dari medan pertempuran yang melelahkan dan penuh perjuangan. Seberapa besar rindu sang prajurit menginginkan waktu seperti itu, demikianlah berartinya waktu liburan ini bagi saya pribadi. !@#$%^.. zzz,  tidak, tidak seperti itu jg sich, sy hanya bergurau dan membesar-besarkan.. hehehe..

Namun ada beberapa hal yang sy nikmati di waktu liburan ini which is sy pnya waktu melimpah u/ mengerjakan banyak hal yang sebenarnya tidak dapat sy kerjakan dengan leluasa di waktu kuliah. Salah satunya sy sedang on my way menghabiskan buku karangan Jonathan Lamb yaitu INTEGRITAS. Selagi sy dalam proses menghabiskan buku bacaan ini, sy pikir ada baiknya juga jika sy membagikan apa yang memang sy pelajari lagi berkaitan dengan Panggilan kita Melayani Tuhan.

Buku ini banyak bercerita mengenai pelayanan Paulus. Bagaimana sikap hati Paulus memandang panggilan pelayanan, bagaimana ketika Paulus sedemikian rela berkorban demi Injil dan jemaat yang ia layani dan kasihi, namun justru mendapat berbagai tuduhan bahwa ia bukan rasul yang sejati, tidak dapat diandalkan, tidak tulus dan banyak hal lainnya.

Bagian yang paling kentara adalah ketika Paulus mengubah rencana kunjungannya ke Korintus. Sejak saat itulah muncul berbagai kecaman yang meragukan kerasulan Paulus. Banyak jemaat yang beranggapan bahwa Paulus bertindak seenaknya, tidak dapat memegang janji, hari ini ya, besok tidak. Dalam hal ini Paulus dituduh tidak konsisten. Bagi kita yg pernah memPA-kan alasan Paulus mengubah rencana kunjungannya, kt tentu tahu bahwa Paulus tidak bertindak serampangan ketika ia mengubah rencana kunjungannya. Semua ini dilakukan demi kebaikan jemaat Korintus.

Paulus tentu menyadari bahwa ia harus menanggapi kecaman itu. Satu-satunya alasan ia harus membela tindakannya, bukan hanya karena kredibilitas kerasulannya, namun menyangkut kredibilitas Injil yang disampaikan sebagai seorang rasul. The man is the message. Isi Injil dapat mudah terkontaminasi oleh sang pembawa pesan. Itulah sebabnya Paulus menegaskan kepada jemaat Korintus : tetapi aku memanggil Allah sebagai saksiku –Ia mengenal aku-, bahwa sebabnya aku tidak datang ke Korintus ialah untuk menyayangkan kamu, 2 Kor 1:23” yang ingin ditekankan Paulus kepada jemaat Korintus adalah bahwa ketika Paulus mengerjakan pelayanan yang sifatnya adalah anugrah dan panggilan Tuhan, tidak ada satupun yang dikerjakan seenaknya saja dalam pelayanannya. Semua keputusan, setiap pelayanan, Paulus melakukan semuanya itu di bawah Allah yang mengamatinya.

Disamping Paulus membela tindakan-tindakannya kepada jemaat Korintus, ia merasa perlu untuk menenkankan bahwa tanggung jawabnya yang utama adalah kepada Allah. Paulus menyadari bahwa motivasinya, sikapnya, dan tingkah lakunya itu penting bagi Allah. Jelas sekali dalam 2 Kor 5:9 ketika ia menjelaskan motivasinya dalam melayani “kami berusaha… supaya kami berkenan kepada-Nya” dan kemudian ia melanjutkan, “Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik atuapun jahat” (5:10).

Jadi suatu hari kelak, kita pun akan menghadap Yesus Kristus, yang telah memanggil kita untuk melayani, kita akan mempertanggungjawabkan apa yang telah kita lakukan. Sama halnya bagi Paulus dan Jonathan Lamb, penulis buku ini. dorongan terkuat bagi kita untuk berintegritas di dalam panggilan kita melayani adalah bahwa kita masing-masing memiliki tanggung jawab pribadi kepada Allah. Ketika kita tergoda untuk seenaknya saja dalam melayani, atau bersikap dan bertingkah laku tidak memuliakan Kristus, maka sesungguhnya kita sedang melecehkan kasih karunia Allah yang memanggil kita untuk melayani.

Saat berpikir bahwa kita akan mempertanggungjawabkan semuanya itu dihadapan pengadilan Kristus, tujuannya tentu bukan untuk mengaburkan pengharapan dan mengurangi kesukacitaan akan pengharapan bersama-sama dengan Kritus. Tetapi justru hal ini menjadi dorongan terkuat bagi kita untuk melayani dengan setia.

Bagaimana kita memandang panggilan melayani? Setiap Pelayanan apapun yang Tuhan percayakan kepada kita baik menjadi guru sekolah minggu, menjadi pengurus persekutuan, menjadi usher, dsb, apakah kita melakukan panggilan pelayanan itu dibawah Allah yang mengamatinya? Apakah kita selalu mengusahkan yang terbaik bagi Tuhan kita? apakah kita selalu ALL OUT dan berusaha sebisa mungkin agar Tuhan dimuliakan diatas segala-galanya? Tuhan layak mendapatkan yang terbaik, dan tidak kurang dari itu, bersikap seenaknya dalam melayani, dan bertingkah laku tidak memuliakan Tuhan berarti melecehkan kasih karunia Allah yang memanggil kita untuk melayani.

Tapi sekali lagi, mengusahkan yang terbaik tidak pernah mudah. Butuh kerja keras, butuh waktu dan tenaga. Selalu ada harga yang harus kita bayar. Selalu ada salib yang harus kita pikul. Namun Allah senantiasa memperhatikan sikap kita, cara kita memandang pelayanan, dan cara kita berjuang demi pekerjaan Kristus terlebih dari pada hasil pelayanan kita. seperti ungkapan sederhana ‘not be the best, but do the best’ Tuhan kita layak mendapatkan yang terbaik, tidak kurang dari itu.


Thursday, January 6, 2011

Panggilan Anda berarti

Kesuksesan adalah topik hangat kita kali ini. Kita semua mencari kesuksesan. Keinginan mendapatkan nilai yang tinggi semasa kuliah, impian untuk mendapatkan pekerjaan yang menjamin kemapaman dan jabatan yang tinggi, bahkan kerinduan untuk menjadi sangat rohani dan hal-hal lainnya yang pernah terbesit di dalam pikiran dan tekad kita. Kita ingin mendapatkan segala yang kita dapat sambil kita berjalan. Kelihatannya kita semua mau menjadi nomor satu, seolah-olah itu merupakan satu-satunya cara kita mengukur kesuksesan(atau kekurangsuksesan).
Sering kali kita terlambat menyadari bahwa mencapai sesuatu yang kita kejar dan mendapatkan kepuasan bukan merupakan dua hal yang sama. Sesekali seseorang bisa mendapatkan arti hidupnya tanpa perlu mencapai kesuksesan yang luar biasa. Banyak orang yang mengalami hal itu karena kesuksesan yang besar tidak selamanya membawa arti atau kepuasan. Pernahkah kita menyadari bahwa kesuksesan kita adalah ketika kita mengenal panggilan Tuhan dan menjalaninya dengan taat? John Howard menjelaskan bagi kita semua.
John Howard, seorang penerus John Wesley, Charles Wesley, George Whitefield, dan William Carey karena ia bekerja di belakang layar, namanya tidak sama terkenal dengan pendahulunya. Pada tahun 1775, saat berusia 29 tahun, Howard kehilangan istrinya. Sambil ia duduk di sebelah mayatnya, patah hati oleh kematiannya, ia mendengar sebuah gempa dahsyat yang menerpa Lisbon, Portugal, dan puluhan ribu orang mati. Orang-orang yang selamat mengirimkan pesan minta tolong ke seluruh dunia, dan Howard membuat keputusan bahwa, terlepas kedukaan pribadinya, ia akan naik perahu berikutnya ke Lisbon dan memberikan bantuan apa pun yang bisa ia berikan. Ia mendaftarkan dirinya ke kapal Inggris, Hanover, tetapi di dalam perjalanan, sebuah kapal Perancis menangkap kapal itu (Inggris dan Perancis sedang perang saat itu). Bersama dengan yang lain, Howard dilemparkan ke dalam kurungan, di mana ia tidak diberikan makanan, air bahkan sinar matahari. Keadaan yang bagaikan neraka di dalam penjara ini sungguh-sungguh mengejutkan Howard. Penulis A Short History of the English People menggambarkan sistem penjara Inggris sebagai ‘kekejaman yang benar-benar kacau sempurna.’
Dalam penderitaan yang singkat itu, jiwa Howard terbangun akan betapa mengenaskannya keadaan penjara-penjara di eropa dan penghinaan serta pelecehan yang diterpakan pada manusia hanya karena kejahatan-kejahatan sepele. Howard menemukan orang yang mati setelah membusuk di penjara selama sepuluh tahun. Penyebabnya? Ia berhutang kepada seorang pedagang hanya 70 pound. Hati Howard tidak lagi dapat menerima pelecehan tanpa mengubah dunianya. Yang menarik, beberapa tahun sebelumnya ketika ia masih berusia 24 tahun, ia menulis kata-kata ini di dalam catatan hariannya.
Tuhan, aku percaya; tolonglah aku yang tidak percaya ini!...., oh Tuhan Allah, dengan rendah hati aku berani untuk berjanji pada-Mu! Sahkan dan tetapkanlah, jadikanlah aku monumen kekal yang menceritakan rahmat-Mu, kemuliaan bagi Allah – Bapa, Putra dan Roh Kudus - selama-lamanya, Amin dan Amin.
Tidak ada, khususnya Howard sendiri, yang dapat menyangka apa yang terjadi pada jiwanya dalam beberapa jam di penjara itu menjawab doa yang tercatat di atas. Beberapa tahun kemudian, ia berdiri di depan parlemen dan para pemimpin dan pembuat hukum sampai ia mengubah jalannya sejarah. Di Eropa, negara demi negara mulai memperkenalkan ketetapan baru dalam sistem penjaranya. Dampak dari Howard bahkan terasa di Bastille, penjara Perancis, penjara-penjara Spanyol dan Turki. Sebagai penghargaan atas pengabdiannya, sebuah patung didirikan baginya di Katedral St.Paul di London. Kalau kita membaca catatan hariannya, kita akan melihat tulisan demi tulisan dimana ia menginginkan agar namanya tidak ditinggikan tetapi agar apa yang ia perjuangkan tidak terlupakan. John Howard telah menemukan panggilannya. Apa yang membawanya ke sana? Sebuah kematian, gempa yang dahsyat, perang dan penjara menjijikan di sebuah kapal.
Panggilan pada dasarnya adalah Tuhan membentuk beban kita serta memanggil kita untuk melayani Dia di tempat dan sasaran yang Ia pilih. Tuhan melatih Musa di istana untuk memakainya di padang gurun. Ia melatih Yusuf di padang gurun untuk memakainya di istana. Ada yang melalui jalan berliku-liku, ada yang melalui jalan yang berhias indah dengan lahir dari keturunan terhormat.
Salah satu pahlawan iman Kristen dalam beberapa abad terakhir ini adalah Robert Murray McCheyne. McCheyne melayani sebagai pendeta di gereja St. Peter di Dundee, Skotlandia ketika pada umur 29 tahun ia meninggal saat masih segar di dalam pelayanannya. Ia adalah seorang yang hebat. Ia menguasai banyak bahasa termasuk Latin, Ibrani, dan Yunani. Ia adalah pemusik yang berbakat yang mampu memainkan berbagai alat music. Ia juga seorang seniman, penulis puisi, dan penyanyi yang baik. Ia juga unggul dalam olahraga lompat galah. Semuanya itu ada di dalam diri satu orang.
Walaupun demikian kejadian terbesar di dalam gerejanya justru terjadi selama ia tidak ada. Pada waktu ia kurang sehat dan mengambil cuti ke Palestina dan Eropa Timur untuk beristirahat. W.C. Burns yang masih muda mengambil alih mimbar selama ketidakhadiran McCheyne dan kebangunan rohani bersejarah meleddak di gereja St. Peter, menyebar ke seluruh Skotlandia. Ketika kabar ini sampai ke telinga McCheyne, ia rindu untuk setidaknya sempat menyaksikan apa yang terjadi. Ia kembali ke tempat asalnya dan berharap dapat ikut memuji karya Tuhan yang ajaib di dalam serta melalui gereja St. Peter. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat kerumunan yang hadir untuk mendengarnya berkotbah. Dalam umurnya yang 26 tahun, ia melihat gerakan Tuhan yang luar biasa – dan hanya kurang tiga tahun berikutnya, Tuhan memanggilnya pulang. Perannya di dalam kebangunan rohani ini terjadi di belakang layar, sebagai pembuka jalan. Bagaimana ia mengenali panggilannya? Seorang penjaga bangunan membawa seorang pendeta muda dari Inggris yang ingin belajar tentang McCheyne berkeliling di gereja St. Peter. Penjaga itu membawa pendeta muda ini ke bangku McCheyne dimana McCheyne sering duduk dan berdoa.
Suatu hal yang demikian sederhana dan menakjubkan. McCheyne merasa puas untuk melihat kebangunan rohani terjadi melalui khotbah orang lain karena ia telah mendoakan kebangunan tersebut. Ia tidak menempati tempat nomor satu waktu kebangunan itu datang. Tetapi ia tetap pemenangnya. Ia telah memusatkan doa-doanya bagi suatu kebangunan dan Tuhan telah menjawab doa-doanya. Disanalah Tuhan berbicara. Tujuan dari doa dan panggilan tuhan dalam hidup kita bukanlah untuk menjadikan kita nomor satu di mata dunia, tetapi untuk membuat Dia menjadi nomor satu di kehidupan kita. kemauan untuk membiarkan orang lain bersinar lebih terang, sementara ia sendiri sendiri bersinar bagi Tuhan. Inilah yang dilakukan McCheyne. Kerendahan hati adalah batu pijak bagi melayani Tuhan.

sumber: The Grand Weaver by Ravi Zacharias

Tuesday, June 8, 2010

Menjadikan Murid


Sejak Yesus datang kedunia, bahkan sampai Yesus datang kedua kali setiap orang kristen sejati sudahlah pasti seorang murid.jika kita melihat firman Tuhan dalam Kis 11: 26 “ Mereka tinggal bersama-sama dengan jemaat itu satu tahun lamanya, sambil mengajar banyak orang. Di Antiokhialah murid-murid untuk pertama kalinya disebut Kristen”. Kalo saat itu murid-murid pertama kali disebut kristen, yang menjadi pertanyaan adalah apakah sebutan untuk orang yang mengikut Yesus pada saat itu sebelum disebut Kristen? Jika kita membaca keempat kitab injil dalam alkitab (Matius, Markus, Lukas & Yohanes) maka kita tidak akan menemukan sebutan “Kristen” untuk orang-orang yang mengikut Yesus, karena pada zaman itu setiap orang yang mengikut Kristus disebut “murid”. Para murid pada zaman itu tidak disebut Kristen karena pada saat itu “kristen” adalah sebuah label yang diberikan oleh orang-orang sebagai ejekan bagi mereka yang mengikut Yesus.
Jika kita semua adalah seorang murid Kristus lalu apa yang Tuhan ingin kita kerjakan sebagai seorang murid?

Semoga kita tidak lupa dengan pesan yang Yesus sampaikan kepada setiap kita dalam Matius 28:19 – 20 “ karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku ..... ..... ” poin yang paling penting dan terutama dalam pesan Yesus ini sudahlah pasti menjadikan murid। Pernahkan anda dititipkan pesan disaat-saat terakhir hidupnya oleh seseorang yang sangat anda kasihi? Jika anda pernah mengalaminya, maka anda pasti mengerti betul betapa pesan itu sangat penting bagi orang yang akan meninggalkan anda, terlebih lagi betapa pesan itu sangatlah diinginkan oleh orang tersebut untuk kita kerjakan bukan? Anda pasti setuju bahwa pesan Yesus jauh melebihi dari pesan yang ditinggalkan oleh seseorang yang mau meninggal karena pesan ini disampaikan oleh Yesus, ketika Yesus sudah bangkit dari kematian-Nya dan akan naik ke sorga meninggalkan murid-murid-Nya.

Apakah anda pernah berpikir kenapa Yesus menyampaikan pesan untuk menjadikan murid kepada setiap kita? Yesus adalah jalan satu-satunya bagi manusia berdosa untuk memperoleh keselamatan. Oleh karena itu, injil tentang karya keselamatan yang dikerjakan oleh Yesus harus tersebar diseluruh dunia, sehingga bagi mereka yang mendengarkan, menerima dan mengakui Yesus sebagai Juru selamat manusia akan diselamatkan. Pemuridan merupakan cara yang Yesus pilih untuk memberitakan injil keselamatan kepada setiap anak-anakNya setelah kenaikan Yesus ke sorga sehingga injil dapat diberitakan diseluruh dunia sampai Yesus datang kedua kalinya ke dunia ini.
Kedatangan Yesus kedua kali merupakan penggenapan kerajaan sorga. Saat kedatangan Yesus yang kedua kali di dunia penghakiman Tuhan terhadap manusia akan terjadi, dan semua orang akan melihat dan menyembah Yesus sebagai satu-satunya Tuhan dan Raja sampai selama-lamanya.
Dalam Mat 3:1-2 , tampilah seorang yohanes pembaptis yang menyerukan “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” lalu ketika anda melihat Mat 4:17 , Yesus mengulang kalimat yang sama yang disampaikan oleh yohanes yaitu “Bertobatlah, sebab kerajaan Sorga sudah dekat!” lalu apa yang Yesus lakukan setelah itu? Pada Mat 4:18, anda akan menemukan bahwa Yesus memanggil murid-murid yang pertama. Lihatlah, Yesus menjadikan murid untuk menggenapkan Kerajaan Sorga ke dalam dunia ini.
Dalam Mat 4: 19-20 ketika Yesus memanggil Simon dan Andreas, Yesus berkata kepada mereka: “Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan kujadikan penjala manusia.Lalu mereka pun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia. Ketika Simon dan Andreas bersedia mengikuti Yesus, maka mereka dipersiapkan untuk menjadi penjala Manusia yaitu untuk memberitakan injil. Pada injil Yoh 21:15-19 , sebelum Yesus naik ke sorga, Yesus meminta simon untuk mengembalakan domba-dombaNya. Saat pertama kalinya kotbah petrus pada hari pentakosta, ada tiga ribu orang yang percaya dan menyerahkan diri mereka dibaptis. Sejak saat itu Petrus menggembalakan domba-domba yang dipercayakan oleh Tuhan kepada-Nya.

Jika kita adalah orang-orang yang mengikut Kristus, sudah sewajarnya kita dijadikan Tuhan sebagai penjala Manusia untuk mengembalakan domba-domba Tuhan. Pertanyaan bagi setiap kita adalah apakah kita mau dipakai Tuhan untuk mengembalakan domba-dombaNya?
“Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka , karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala. Maka katanya kepada murid-muridNya: “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit” (Matius 9:36-37).
Amanat Yesus adalah supaya kita menjadikan orang muridNya (Matius 28:19). Amanat itu selangkah lebih jauh daripada hanya memperingatkan kita untuk menjadi murid. Maka jika kita menuruti rencana besar Allah, kita harus menolong orang untuk menjadi murid-Nya. Jika kita adalah seorang murid, lalu kita berhenti sebelum kita menjadikan murid yang memuridkan orang lain, itu berarti kita gagal mematuhi inti dari amanat kristus.
Bagi kita yang sedang sekolah, kuliah , ataupun kerja, sudah seharusnya kita merespon pesan yang Tuhan sampaikan kepada setiap kita yaitu menjadikan murid. Pemuridan dapat kita kerjakan dalam berbagai bentuk yaitu salah satunya adalah menjadi pemimpin kelompok kecil (PKK). Ketika kita menjadi seorang pemimpin, maka visi yang harus kita pegang (have in mind) adalah menghasilkan murid yang memuridkan orang lain demi kerajaan sorga. Kita harus menghasilkan murid yang kemudian dapat memuridkan orang lain sehingga tercipta pemuridan yang bermultiplikasi.

ketika kita bersedia mengembalakan domba-domba Tuhan, maka ketahuilah kita adalah orang-orang yang turut ambil bagian dalam menggenapkan kerajaan Allah di dunia ini

Wednesday, February 25, 2009

Menjaga Mata Air tetap Murni

Dalam buku karangan Joshua Harries yang berjudul I kissed dating Goodbye membawa kita dalam membayangkan menjaga hati seolah-olah hati kita adalah sumber mata air yang segar yang darinya kita ingin minum setiap hari. Alkitab mengatakan kepada kita bahwa hati merupakan “pancaran kehidupan” . (Amsal 4:23 berkata jagalah hatiMu dengan segala kewaspadaan , karena dari situlah terpancar kehidupan). Kita harus mempertahankan kemurnian hati kita dan terus menjaganya dari berbagai hal yang dapat mengotori hati kita. Karena hati kita merupakan sumber dari sikap, ucapan, dan perbuatan-perbuatan kita.
Sebuah dongeng oleh Peter Marshall yang berjudul “Penjaga Mata Air” mengisahkan seorang tua yang tinggal di hutan yang tenang yang dahulunya tinggal di सबूः desa di Austria di sepanjang lereng bagian timur gunung Alpen. Beberpa tahun yang lalu dewan kota telah menyewa orang tua ini sebagai penjaga mata air untuk memlihara kolam air di celah-celah gunung. Aliran dari kolam ini mengalir menuruni sisi gunung dan memberikan suplai air yang mengalir melalui kota. Secara teratur dan setia Si Penjaga Mata Air ini berpatroli di sekeliling bukit memunguti dedaunan dan ranting-ranting dari kolam dan membersihkan endapan lumpur yang dapat mengotori sumber mata air tersebut.
Lama kelamaan desa itu menjadi daya tarik bagi para wisatawan. Angsa-angsa berenang di atas mata air yang berkilauan. Roda-roda pengilingan dari berbagai perusahan dekat mata air itu berputar siang dan malam. Tanah-tanah pertanian mendapatkan irigasi alam, dan pemandangan dari restoran-restoran tampak berkilauan.Tahun demi tahun berlalu. Suatu sore dewan kota mengadakan pertemuan tengah tahunan untuk mengkaji anggaran. Mata salah seorang dewan tertuju pada honor yang diberikan kepada Penjaga Mata Air itu. “Siapakah orang tua ini?” dengan nada suara yang penuh kemarahan, orang tua ini tidak berguna bagi kita. Ia tidak lagi diperlukan. Dengan suatu pemungutan suara akhirnya dewan membuang jasa pak tua itu.
Selama beberapa minggu tidak ada yang berubah. Tetapi menjelang awal musim gugur, pohon-pohon mulai menggugurkan daun-daunnya. Ranting-ranting kecil patah dan jatuh ke dalam kolam, menghalangi aliran air yang berkilauan. Pada suatu siang, seseorang memperhatikan warna kuning kecoklatan di mata air tersebut. Beberapa hari kemudian air itu telah menjadi gelap. Dalam satu minggu, lapisan lumpur yang tipis menutupi mata air di sepanjang sisinya, dan bau busuk tercium dari mata air itu. Roda-roda penggilingan bergerak lambat, beberapa diantaranya akhirnya berhenti sama sekali. Beberpa perusahaan yang ada di dekat sana tutup. Angsa-angsa pindah ke air yang lebh segar di tempat yang jauh, dan para wisatawan tidak lagi mengunjungi kita itu. Pada akhirnya, cengkraman penyakit dan wabah menyerang desa tersebut.
Dewan kota yang berpandangan dangkal tersebut telah menikmati keindahan mata air itu tetapi meremehkan pentingnya penjagaan sumber mata air tersebut. Demikian halnya dengan kita. Sering kali kita juga membuat kesalahan yang sama di dalam hati kita. Kita sering kali mengabaikan kemurniaan hati kita dan menjaganya agar tetap bersih. Beberapa contoh diantaranya adalah ketika seseorang yang katakan saja tidak sengaja menyakiti hati kita, kita tidak sudi untuk memberikan waktu kita untuk berpikir sejenak mengenai orang yang menyakiti hati kita. Yang ada dalam pikiran kita adalah dia telah menyakiti hati kita. Kita tidak mau repot-repot untuk mengarahkan konsentrasi kita kepada orang tersebut. Akhirnya yang ada di dalam hati kita adalah kebencian. Pada saat itu juga, kita telah membiarkan ranting-ranting pohon dan dedaunan mengotori mata air di hati kita. Kita merasa malas untuk memungut ranting-ranting dan dedaunan dari mata air tersebut. Kita lupa betapa pentingnya menjaga kemurnian hati kita, sama seperti dewan kota tersebut yang meremehkan pentingnya penjagaan sumber mata air itu. Maka dari hati kita yang kotor itu terpancar sikap yang kasar terhadap orang tersebut, perkataan yang sinis dan penuh kemarahan terhadap orang tersebut, dan perbuatan-perbuatan yang menyakiti hati orang tersebut dengan perasaan balas dendam.
Namun untuk menjaga mata air agar tetap bersih dan mempertahankan kemurnian hati kita bukan merupakan hal yang gampang untuk dilakukan. Hati manusia sangat mudah diombang-ambingkan oleh situasi dan keadaan. Untuk itu kita perlu secara konsisten mengevaluasi kemurnian hati kita di dalam doa, dan meminta Allah untuk mengungkapkan hal-hal kecil yang mengotori hati kita. Ketika Allah mengungkapkan sikap, kerinduan, dan keinginan kita yang salah, kita harus membuang itu semua dari hati kita.
Si Penjaga Mata air, pekerjaan yang tidak pernah berakhir. Demikian juga menjaga kemurnian hati adalah suatu tugas yang tidak pernah berakhir. Tuhan mengenal setiap hati kita. Dia tahu apa tujuan kita sebelum kita melakukan sesuatu. 1 Yohanes 3:20 “Karena Allah adalah lebih besar daripada hati kita, serta mengetahui segala sesuatu”. Ia mengerti bagaimana rasanya menghadapi percobaan. Ia akan menolong dan menopang kita ketika kita percaya kepada-Nya dan dengan setia menjaga hati kita.